Selasa, 13 Juli 2010

KORUPSI PASCA REFORMASI


Pada tahun 1998 Indonesia dan China sama-sama mencanangkan agenda pemberantasan korupsi melalui momen yang berbeda. Pada tahun tersebut, Orde Baru tumbang digantikan Orde Reformasi dengan agenda pemberantasan KKN, penegakan supremasi hukum dan pembangunan demokrasi.

China pada tahun yang sama mencanangkan hal serupa. Perdana Menteri China Zhu Rongji yang baru dilantik menyatakan perang terhadap korupsi. Sehingga Zhu mengatakan ''Berikan kepada saya seratus peti mati, sembilan puluh sembilan untuk koruptor, satu untuk saya jika saya melakukan hal yang sama.''

Kini pada tahun 2009, agenda reformasi pemberantasan korupsi dari kedua negara menuai hasil yang berbeda. Di Indonesia pada era reformasi ini korupsi semakin meningkat baik dari segi kuantitas yaitu jumlah pelaku koruptor maupun sisi kualitas yaitu nilai uang negara yang dijarah. Korupsi tidak hanya ada di pemerintahan pusat dan pemerintah daerah. Korupsi juga terjadi hampir di semua level jabatan dan di semua daerah. Perilaku korupsi, sepertinya, telah menjadi bagian dari budaya birokrasi, sehingga sebagian pelakunya menganggap bukan lagi sebagai penyimpangan melainkan sebagai kebiasaan dan kewajaran. Korupsi sebagai suatu kewajaran karena dilakukan secara terorganisasi dan bersama-sama. Pihak swasta memberikan suap kepada pejabat agar kepentingannya diakomodasi, apakah itu kepentingan untuk mendapatkan tender proyek di pemerintah, menyuap aparat hukum agar terbebas dari penjara, atau menyuap penentu kebijakan dalam jual beli suara dalam memenangkan satu kandidat. Bahkan, yang amat mencengangkan baru-baru ini, salah satu anggota legislatif yang mencalonkan diri kembali telah terbukti sebagai pelaku koruptor dari salah satu partai masih tetap dijadikan sebagai icon pada partai tersebut.

Adapun China, dianggap banyak negara berhasil memberantas korupsi. China telah mengirim ratusan pejabat yang melakukan korupsi ke penjara dan hukuman mati. Di China, rata-rata koruptor yang dieksekusi itu 10 orang setiap hari (antara.co.id/5/7/07)

Mengapa Indonesia yang iklim demokrasinya lebih maju dibanding China, tapi kurang berhasil dalam memberantas korupsi? China yang menganut sistem komunisme mengharamkan demokrasi, mengontrol pers, melarang pembentukan organisasi massa yang berseberangan dengan kebijakan negara, serta melarang berbagai bentuk peryataan sikap dan ekspresi. Meski China tidak menjalankan demokrasi, meniadakan hak-hak berpolitik dan HAM, tapi negara tersebut berhasil mengebiri para koruptor. Buah dari keberhasilan menekan korupsi itu adalah pertumbuhan ekonomi yang bagus. Kesuksesan ekonomi China, salah satunya karena keberhasilan negara tersebut memberantas korupsi. Pertama, karena alokasi anggaran pembangunan tidak bocor kemana-mana atau tepat sasaran. Kedua, rendahnya tingkat korupsi mengundang investor asing untuk beramai-ramai menanamkan investasinya di sana. Pemerintahan yang tidak korup, amat disukai oleh investor dari berbagai belahan dunia. Karena tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.

Kini China menjadi negara yang kuat dalam bidang ekonomi. Itu terlihat dengan tampilnya China sebagai negara yang memiliki cadangan devisa US$1,76 triliun miliar atau terbesar di dunia melampaui Jepang, Amerika Serikat, Jerman, dan Inggris. Bandingkan dengan Indonesia yang memiliki cadangan devisa US$57.464 juta.

Sebaliknya dengan Indonesia. Meski Indonesia berhasil dalam menjalankan agenda demokrasi, yang ditandai dengan dijaminnya kebebasan pers, kebebasan berserikat, dan kebebasan menyatakan pendapat, bahkan pada rezim pemerintahan SBY yang telah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi, toh tindak korupsi seperti makin menjadi. Media massa yang menikmati kebebasan pers, hampir setiap hari memberitakan para koruptor secara lengkap mulai dari modus operandinya, skema penyerahan uang, nilai uang, foto-foto persidangan, hingga trik-trik koruptor untuk mengelabui para penegak hukum. Lembaga pemantau korupsi dan media massa saling bersinergi untuk menekan pemerintah agar membentuk sebuah birokrasi yang tidak memungkinkan pegawai untuk ‘menilep’ uang rakyat.

Masyarakat dan media massa cukup gencar untuk mewacanakan tentang hukuman mati bagi koruptor, baju khusus bagi koruptor, kerja sosial bagi koruptor, hingga koruptor dibuang ke Pulau Nusakambangan. Pers dan masyarakat melalui organisasi massa dan organisasi profesi terus berteriak untuk memberantas korupsi. Singkatnya, pers telah menjalankan fungsinya untuk melakukan pengawasan dengan memberitakan kasus korupsi secara intensif, mendalam, dan berkesinambungan. Namun kemajuan dalam bidang demokrasi politik dan hak-hak sipil, tidak sejalan dengan demokrasi budaya, yaitu budaya untuk malu melakukan korupsi.

Kontrak Hukum

Demokrasi idealnya mampu membawa masyarakat untuk hidup yang lebih baik yaitu mencapai kesejahteraan dan kemakmuran. Karena negara yang demokratis, mengijinkan masyarakat mengkontrol jalannya roda pemerintahan. Alat kontrol masyarakat untuk mengawasi pemerintahan, termasuk mengawasi setiap rupiah anggaran pembangunan adalah LSM, lembaga pemantau korupsi, Mahasiswa dan pers. Banyak kasus korupsi terbongkar, justru awalnya adalah dari laporan masyarakat baik yang di laporkan ke kepolisian maupun melalui pemberitaan oleh pers. Selain kontrol dari masyarakat, Indonesia juga memiliki lembaga khusus yang memberantas korupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan.

Kunci dari keberhasilan dalam memberantas korupsi di Indonesia tidak cukup hanya dengan statement politik. Meski pemerintah sudah mengagendakan secara nasional pemberantasan korupsi, selama para pejabat tidak memiliki political will untuk menyelenggarakan sebuah pemerintahan yang bersih dari KKN, selama itu pula korupsi tetap merajalela.

Para kandidat yang ikut pilkada saat berkampanye ataupun pemilu dan Pilpres saat ini lebih banyak menawarkan program pelayanan fasilitas yang merupakan hak dasar setiap warga negara yaitu pendidikan gratis, kesehatan gratis, dan penciptaan lapangan kerja. Idealnya calon presiden dan para pemimpin daerah (gubernur, bupati, walikota ) harus memasukkan program penegakkan hukum dan pemerintahan yang bersih dalam program kerja yang ditawarkan kepada masyarakat saat berkampanye. Kontrak politik yang dibuat saat kampanye, antara kandidat dengan masyarakat, juga harus ditambah klausul kontrak hukum berupa keberanian untuk penegakan hukum. Dalam kontrak hukum itu harus dijelaskan secara rinci, point-point jenis pekerjaan yang masuk dalam kategori korupsi. Termasuk kontrak hukum agar pejabat harus berani merombak lembaga penegak hukum yang dinilai ”lembek” dan tidak mencatat prestasi berarti dalam pemberantasan korupsi. Para penegak hukum harus diisi dengan orang-orang yang siap menjalankan agenda nasional yang digariskan pemerintah yaitu memberantas korupsi tanpa pandang bulu.

Bila ini dijalankan, pemerintah tidak hanya akan mendapat dukungan dari masyarakat dan dunia. Tapi juga ekonomi nasional semakin kuat, karena setiap rupiah dari anggaran pembangunan tidak mengalami kebocoran dan digunakan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Investor asing juga tidak akan sungkan untuk berinvestasi di Indonesia, karena tidak perlu melakukan suap di setiap meja perijinan. Nah, China telah membuktikan hal itu, kenapa Indonesia tidak?

Tidak ada komentar: